PEKANBARU (MP) — Kasus pemalsuan tanda tangan bukanlah perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring) yang mudah dihentikan (SP3-red). Perlu diketahui pemalsuan tanda tangan ini bisa berdampak fatal bagi korbannya. Karena tanda tangan tersebut bisa digunakan untuk segala hal, termasuk untuk kejahatan. Itu tergantung pelaku menggunakannya.
Oleh karena itu, untuk mengungkap kasus yang satu ini aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik harus jeli dan teliti. Seperti yang dikatakan Pakar Hukum Pidana Universitas Riau Dr Erdianto Effendi SH MHum kepada awak media.
Menurut ahli hukum pidana Riau ini, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam perkara pemalsuan tanda tangan adalah tindakan yang harus didasari oleh alasan hukum yang kuat sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Perlu diketahui bahwa SP3 hanya dapat diterbitkan jika memenuhi salah satu dari tiga syarat mutlak yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Seperti tidak terdapat cukup bukti, ini berarti penyidik tidak berhasil mengumpulkan minimal dua alat bukti yang sah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, sesuai Pasal 184 KUHAP, dalam kasus pemalsuan tanda tangan, ketiadaan bukti yang meyakinkan, misalnya hasil pemeriksaan saksi dan hasil uji Labfor, bisa saja dikeluarkan SP3," kata Dr Erdianto Effendi SH MHum, Senin (08/12/2025).
Tapi apabila hasil pengujian Labfor jelas terbukti palsu dan keterangan saksi bisa mengungatkan.
"Saya rasa perkara tersebut tak perlu di SP3. Apalagi seperti kasus pemalsuan tanda tangan bapak H Sopian HAS. Untuk hasil Labfornya jelas Non Identik alias palsu, ada keterangan saksi dan ada pula surat pembatalan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh pihak penghulu. Surat pembatalan SKT itu adalah bukti kerugian akibat adanya tanda tangan palsu bapak H Sopian di SKGR milik Samin tersebut," ungkapnya.
Diterangkan juga, apabila perkara tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, hal ini terjadi jika dari hasil penyidikan, perbuatan yang dilaporkan tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat seperti yang diatur dalam Pasal 263 KUHP itu sah-sah saja penyidik menghentikan penyidikan perkara tersebut.
Namun jika terdapat adanya unsur pidana dan dikuatkan juga dengan dua barang bukti, itu tidak ada jalan untuk dihentikan penyelidikan maupun penyidikan perkara tersebut.
"Ada juga yang penyidikannya dihentikan demi hukum. Itu harus cukup alasan, seperti adanya nebis in idem (perkara yang sama sudah pernah diadili), tersangka meninggal dunia, atau tindak pidana tersebut telah kedaluwarsa," sambungnya.
Ia juga mengatakan, para ahli hukum pidana sering juga menyoroti beberapa aspek kritis terkait SP3. Di sini kita menekankan pentingnya objektivitas penyidik dalam menentukan "cukup bukti".
"Penerbitan SP3 yang tidak transparan atau terkesan dipaksakan dapat menimbulkan kecurigaan dan membuka celah untuk gugatan praperadilan," sebut Dr Erdianto.
Dr Erdianto juga menjelaskan, meskipun pemalsuan tanda tangan termasuk delik biasa (bukan delik aduan) yang bisa diproses tanpa laporan korban, korban tetap memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. SP3 yang diterbitkan tanpa alasan yang jelas dapat merugikan korban dan membuat mereka mempertanyakan sistem peradilan.
"Di sini kita juga mencatat, sesuai yurisprudensi Mahkamah Agung, penentuan tanda tangan palsu atau tidaknya seringkali memerlukan pemeriksaan mendalam dari laboratorium kriminologi atau ahli grafonomi. Ketiadaan bukti ahli ini bisa menjadi dasar lemahnya kasus, yang berujung pada SP3. Secara ringkas, di mata ahli hukum pidana, SP3 dalam perkara pemalsuan tanda tangan adalah keputusan administratif-yudikatif yang sah, asalkan didasari oleh alasan kuat yang diatur dalam KUHAP, bukan karena intervensi atau negosiasi di luar hukum formal," tambah Dr Erdianto SH MHum.***

